ketika elang mencintai dara part 3
Rabu, 20 Maret 2013
0
komentar
Sehari setelah kejadian aneh itu, Cakra SMS aku. Dia
bilang dia baik2 saja. Dia juga minta maaf karena mengabaikan aku waktu itu.
Hari ini hasil ulangan dibagikan.
Aku mendengar anak2 pada memuji Lala.
“La, pasti lo deh yang dapet nilai paling tertinggi! Gue
yakin banget, secara lo tuh pinter banget, La!”
Nggak lama kemudian, Pak Bambang muncul dengan membawa
setumpuk kertas.
“Anak2, hari ini Bapak akan membagikan hasil ulangan
kalian. Hasil’y cukup memuaskan.” Kata Pak Bambang. “Sebagian besar dari kalian
sudah dapat mencapai nilai di atas tujuh puluh. Tapi ada yang mengejutkan.
Kalau biasa’y yang mendapatkan nilai seratus hanya satu orang.” Mata Pak
Bambang tertuju pada Lala. “Kali ini yang mendapatkan nilai seratus ada dua
orang!”
Siapakah yang mendapatkan nilai seratus? Apakah aku?
“Baiklah. Bapak akan bacakan. Yang mendapat nilai seratus
pertama adalah Febiola Kirana!”
Lala maju ke depan kelas untuk mengambil kertas
ulangan’y.
“Yang kedua, yang mendapatkan nilai seratu adalah… ini
mengejutkan. Kemajuan’y benar2 pesat. Dia adalah… Dara Aurelia Hadikusuma!
Bagus!”
“Dara, ayo ambil kertas ulanganmu! Tidak sia2 Bapak
menggembleng kamu, ternyata kamu bisa secerdas kakamu. Bapak akan
persiapkan kamu untuk mengikuti pembinaan olimpiade fisika!”
Apa? Olimpiade fisika?
Aku mengambil kertas ulanganku dengan langkah gontai.
AKu nggak pengin ikut2an pembinaan olimpiade fisika!
Ketika bel istirahat berbunyi, Lala mendekatiku.
“Jujur sama gue, Ra. Lo nyontek, ya?” Tanya Lala.
Sadis.
“Maksud lo apa, La? Gue nyontek? Lo jangan sembarangan
ngomong, ya! Gue nggak nyontek. Lagian yang dapet nilai seratus cuma gue sama
lo, sama siapa gue nyontek? Nggak mungkin sama lo, kan?” kataku berapi-rapi.
“Tapi Adzy bilang, lo sering keluyuran. Kenapa lo bisa
dapat nilai seratus? Apalagi Adzy bilang lo kemaren pergi lagi. Lo sama sekali
nggak belajar. Lo bisa jelasin itu ke gue?” Tanya Lala ngotot.
“Gue belajar. Gue nggak perlu pamer ke lo kalo gue
belajar.”
“Gue khawatir sama lo, Ra. Lo jujur sama gue deh. Ada
yang lo sembunyiin kan dari gue?” Tanya Lala.
“Apa yang gue sembunyiin dari lo? Udahlah, lo nggak usah
sok khawatir sama gue. Gue nggak apa2!”
“Ra! Jangan bilang lo pergi sama Cakra!”
Aku kaget.
“Ra, udah gue bilang lo jangan bergaul sama Cakra. Dia
nggak baik buat lo. Plis, kali ini lo harus percaya sama gue. Gue lebih lama
kenal dia dan gue lebih tau dia daripada lo!”
“Lo nggak tau apa2!” aku memekik.
“Gue tau Cakra! Dan dia nggak baik buat lo!” pekik Lala.
“Jangan urusin gue!” teriakku.
Aku kemudian berlari menjauhi Lala. Wajahku memerah.
Mataku berair. Aku berlari tanpa arah.
BRAAAKKK!!!
Aku bertabrakan dengan seseorang.
Dan sekarang aku jatuh terduduk di lantai. Aku malu.
“Dara? Lo nggak apa2?”
Aku mendengar suara Elang.
Aku mengangkat kepalaku sedikit. Yeah… Elang. Dia
mengulurkan tangan’y untuk membantuku berdiri. Aku meraih uluran tangan’y.
“Lo nggak apa2?” Tanya Elang lagi.
“Nggak apa2.” Jawabku dengan suara agak serak.
“Lo nangis?” Tanya Elang sekali lagi.
Aku menunduk.
Tiba2 saja kepala’y melongok, menatapku dari bawah
wajahku.
“Kenapa nangis? Sakit, ya? Aduh, sori ya, Ra. Gue nggak
sengaja. Gue kaget liat lo lari kenceng banget.” Kata Elang. “Yang mana yang
sakit, Ra? Yang mana?”
“Bukan salah lo.” Kataku. “Nggak ada yang sakit.”
“Bukan salah gue? Terus kenapa lo nangis?” Tanya Elang
lagi.
Duh, nih anak cerewet banget.
“Bukan urusan lo.” Kataku.
“Kok gitu sih? Nggak apa2, kali, lo cerita ke gue. Siapa
tau gue bisa ngasih solusi buat lo.”
“Gue nggak mau cerita sama lo.”
“Beneran nggak mau cerita sama gue? Ya udah. Gue nggak
maksa. Lo kayak’y butuh waktu untuk menenangkan diri. Gue kasih saran ke lo,
kalo ada masalah, sebaik’y lo cerita ke orang terdekat lo. Orang yang bisa lo
percaya. Jangan dipendam.”
Aku terpana. Elang ternyata bisa sebijak itu.
“Seperti’y lo pengin sendirian. Gue cabut dulu ya. Kalo
lo butuh gue, SMS aja atau telepon. Nomor gue ada di Adzy kok. Oke?”
Elang berlalu. Aku masih heran kenapa dia begitu
perhatian sama aku.
Aku segera berlari ke toilet.
***
Di mobil aku dan Lala masih saling diam.
“Oh iya. Tadi ulangan fisika dibagiin, kan? Gimana
hasil’y? Nilai kalian berapa nih? Lo pasti dapat seratus kan, La?” Tanya Adzy.
Lala tersenyum tipis.
“Nilai lo berapa, Ra?” Tanya Adzy.
Aku ragu2 menjawab.
Tiba2 Lala menyahut. “Dia dapet seratus juga.” Kata’y.
“Oh ya? Beneran, Ra? Lo dapet seratus? Wah, hebat juga
lo! Sering keluyuran tapi dapet nilai seratus.” Kata Adzy.
“Gue nggak keluyuran.” Jawabku.
“Oke, gue bosen denger lo ngebantah. Tapi lo kapan
belajar’y, Neng?” Tanya Adzy.
“Di rumah. Pas lo lagi tidur. Jadi lo nggak pernah tau.”
Aku nggak yakin Adzy percaya sepenuh’y sama ucapanku.
Setelah tiba di rumah, Adzy meminta kertas ulanganku yang
baru saja dibagikan.
“Mana ulangan lo, Ra? Gue pengin liat nilai seratus.”
Kata Adzy.
Aku merogoh tasku dan mengeluarkan kertas ulanganku.
Kuberikan pada Adzy. Kening’y sedikit berkerut. Setelah beberapa menit dia
mengembalikan kertas ulanganku.
“Lo belajar cara itu dari mana, Ra?” Tanya Adzy.
“Gue cuma perhatiin cara Pak Bambang ngajar kok.” Kataku.
“Berarti seharus’y cara Lala menjawab soal sama persis
kayak punya lo dong?” Adzy seperti’y masih ingin menyelidiku.
“Mana gue tau. Tapi seharus’y sih begitu.” Kataku cuek.
“Pak Bambang nggak pernah jawab soal dengan cara nyeleneh
kayak gini. Lala juga. Lo belajar dari mana?”
“Maksud lo apa, Zy? Ngatain jawaban gue nyeleneh. Tapi
kan cara gue bener dan jawaban’y ketemu.”
“Maksud gue, lo nemuin jawaban’y dengan cara yang
berbeda, cara yang nggak lazim digunakan, tapi dibenarkan secara fisika dan
hasil’y sama seperti cara biasa’y. Lala itu tipe orang yang apa2 ikutin cara
buku, begitu juga Pak Bambang. Nah, cara lo ini beda. Kayak’y gue pernah liat
tipe2 yang beginian. Seinget gue kayak cara’y…”
“Gue nemuin cara kayak gitu secara nggak sengaja.”
Potongku.
“Elang kalo jawab soal matematika juga kayak begini nih.
Tapi kalo fisika yang nyeleneh itu…”
“Gue! Gue emang nyeleneh.” Potongku lagi. “Sementara lo berpikir,
gue ganti baju dulu.”
“Eh, tunggu! Gue mau nanya sesuatu sama lo.” Adzy
memandangku serius. “Lo beneran belajar pas gue lagi tidur?”
AKu mengangguk mantap.
“Kemajuan lo pesat banget. Kirain ada orang lain yang
ngajarin lo dan pasti’y orang itu lebih pinter daripada gue. Biasa’y kan lo
nanya2 sama gue. Tapi kalo ternyata lo belajar sendiri, mungkin lo emang punya
bakat jenius juga kayak gue. Gue nggak heran sih, kita kan sodara.”
Adzy lalu masuk ke kamar’y.
Tiba2 HP ku berbunyi. Ada SMS masuk. Ternyata dari Cakra.
Cepat2 aku membaca SMS’y.
Ra, bsok nton konser yuk. Lo suka dngr musik underground gk? Kbtulan yg
maen kbnyakan band2 metal, rock, n punk gtu. Lo mau?
Aku langsung me-replay.
Oke. Jm brp siE??
ktmUan ny dmN??
Cakra reply.
Jm 7 mlm. Di central parkir. Tp kita ktmu di kafe’y Dicky dulu. Oke?
Yes! Akhir’y aku bisa pergi juga sama Cakra.
***
Pukul tujuh malam. Aku melihat Cakra duduk di salah satu
sudut kafe. Aku setengah berlari menuju tempat Cakra.
“Hai, Ra! Gimana ulangan lo? Dapet seratus?” Tanya Cakra.
“Pasti’y! Gue dapet seratus dan itu semua berkat lo.
Makasih banyak, ya.” Kataku.
Cakra tersenyum.
“Tumben ada yang bilang makasih ke gue.” Ujar’y. “Biasa’y
gue dapet caci maki, brengsek lah, kurang ajar lah.” Cakra tertawa kecil.
“Makasih juga deh, lo udah mau jadi temen gue.”
“Lo nggak usah berterima kasih. Gue tulus kok jadi temen
lo.” Kataku.
Kami lalu berangkat ke Central Parkir. Kami berangkat
pakai mobil Cakra karena tadi aku naik taksi.
Kami sampai di Central Parkir. Suasana’y cukup ramai. Aku
melihat banyak anak punk yang berkelompok-kelompok membentuk lingkaran kecil.
Saat aku dan Cakra datang, kebetulan yang maen band itu
band metal Rockstone.
“Lo suka nggak?” Tanya Cakra.
“Lumayan.” Jawabku. “Adzy pernah nyetel musik’y keras2.
Gue kira band apaan.”
Cakra manggut2.
“Orang yang suka musik keras belum tentu orang yang lemah
dalam pelajaran, kan? Adzy aja suka. Apalagi gue.” Kata’y. “Lo juga suka, kan?
Kan sekarang lo udah pinter.”
Aku tertawa kecil.
Belum sempat aku menyahut, tiba2 teman Cakra datang.
Cowok itu berbadan tegap dan banyak piercing di telinga’y.
“Hai, Bos!” sapa’y.
“Buset dah! Apa kabar, sob?” Tanya Cakra.
“Baik. Lo sama siapa ke sini?” cowok berbadan tegap itu
lalu mengalihkan pandangan’y ke arahku.
“Ini temen gue.” Kata Cakra sembari menoleh ke arahku.
“Dia adik kelas gue. Nama’y Dara.”
Teman Cakra itu lalu mengulurkan tangan’y. Aku membalas
uluran tangan’y dan menyebut namaku dengan pelan.
“Jonathan.” Kata’y. “Panggil aja gue Jo.”
Cowok itu lalu memandangku dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Mimik muka’y mupeng2.
Baru saja aku ingin menyenggol lengan Cakra, Jonathan
sudah mendahului berbisik di telinga kanan Cakra. Aku melihat ekspresi Cakra
seperti tidak senang.
“Gila lo! Lo nggak boleh macem2!” kata Cakra galak.
“Alah… Paling juga lo udah pake dia, kan? Sekarang
giliran gue, lo nggak pernah serius kan, sob?” Jonathan mengangkat sebelah
alis’y.
“Lo ngomong apaan sih? Dia bukan untuk dipake!” kata
Cakra tegas.
Dia? Siapa sih yang mereka omongin?
“Lo nggak usah pura2. Gue tau, abis ini lo mau nyobain
dia, kan?” Jonathan tertawa kecil. “Kalo gue pengin nyoba gimana? Lumayan… Gue
bisa ikut have fun. Boleh kan gue ikutan?”
Tiba2 Cakra memegang tanganku dengan erat.
“Lo nggak boleh apa2in dia!” kata Cakra.
Dia itu maksud’y aku? Oh… aku ngerti sekarang.
“Sombong banget sih lo? Bilang aja lo mau seneng sendiri.
Iya, kan? Cuma cewek segitu doang pelit banget!” kata Jonathan.
“Heh, lo jangan kurang ajar ya? Dia nggak seperti yang lo
pikirin!” kata Cakra lagi.
Jonathan tersenyum licik. “Munafik lo!” teriak’y. Tiba2
dia mengepalkan tangan’y dan menghajar muka Cakra.
Cakra melepaskan tanganku. Dia lalu membalas pukulan
Jonathan. Dan terjadilah keributan. Aku panik.
“Berhenti!!!” teriakku kencang.
“Ra! Lari, Ra!” teriak Cakra.
Aku merasa tidak nyaman.
“Stop!! Berhenti!!!”
Aku melihat Cakra sudah berdarah-darah.
“Cakra!!!” teriakku lagi.
“Ayo hajar!” teriak pendukung Jonathan. “Habisi dia!”
“Nggak!!!” teriakku kencang. “Cakra!”
“Jangan, Ra!”
“Cakra!!!” teriakku histeris.
“Cakra!!!” aku hampir menangis.
Kemudian aku merasa ada yang menarik tanganku. Aku
melihat Elang berdiri di sampingku.
“Ra! Kita harus pergi dari sini! Bahaya!” kata’y.
“Nggak mau! Cakra…”
“Lo harus ikut gue!” Elang memotong kata2ku.
“Lo harus bantu Cakra! Dia kan temen lo!” kataku sambil
menangis.
“Dia nggak akan apa2! Lo yang bakal di apa2in!” kata
Elang dengan mimik kesal.
“Gue nggak mungkin ninggalin dia, Lang!” kataku.
“Liat tuh! Cakra nyuruh gue bawa lo pergi dari sini!”
kata Elang sambil menunjuk ke arah Cakra. Tangan kanan’y melambai ke arah
Elang, sebagai isyarat untuk membawaku pergi.
Tapi aku nggak tega.
“Tunggu apa lagi, Ra? Ayo!” teriak Elang. Kami pun
langsung berlari ke luar lapangan.
Jonathan berteriak, memerintahkan anak buah’y untuk
mengejarku. Elang memegang tanganku erat sekali.
“Cepetan, Ra!” kata Elang. “Kita harus sembunyi. Lama2
pasti kita nggak kuat lari.”
Aku dan Elang terus menyusuri trotoar yang sepi.
Elang dengan cepat nmengajakku bersembunyi di balik
bak sampah.
“Kita sembunyi di sini aja. Jangan berisik.” Bisik Elang.
Melihat aku masih terisak, Elang jadi tidak tenang.
“Ra, udahan dong. Jangan nangis. Nanti kedengaran sama
mereka.” Kata Elang sambil menyeka air mataku. “Udah ya, jangan nangis lagi.”
“Gue takut, Lang.” kataku dengan suara bergetar. Elang
mendekapku erat. Dia mengelus kepalaku dengan lembut. Aku merasa aman
berlindung dalam dekapan’y.
“Tenang, Ra. Lo aman sama gue.” Kata Elang.
Aku mendengar suara langkah kaki teman2 Jonathan. Suara
langkah kaki mereka terhenti. Seperti’y mereka mulai kehilangan jejak dan
bingung mencari aku dan Elang.
“Ke mana mereka?” kudengar salah satu dari mereka
berbicara.
“Coba cari sebelah sana!” kata seorang lagi.
“Ya udah. Cari sebelah sana aja. Pasti belum jauh.” Sahut
satu orang lagi.
Tidak ada tanda2 orang itu mendekati tempat kami. Elang
berhenti mendekapku.
“Kelihatan’y mereka udah pergi, Ra.” Kata Elang.
“Sebaik’y gue anter lo pulang sekarang.”
“Tapi Cakra…”
“Kenapa lo masih mikirin dia? Gue yakin dia nggak apa2,
Ra!” potong Elang.
“Apa’y yang nggak apa2? Dia tadi babak belur, Lang!”
kataku.
“Pasti ada yang bantu dia. Cakra temen’y banyak. Kalo lo
ke tempat konser itu lagi, bisa2 lo di kejar2 lagi sama Jonathan. Lo n ggak
liat, muka’y mupeng begitu ngeliat lo?”
“Dari mana lo tau dia mupeng?”
“Lo mata2in gue, ya?” tanyaku penuh curiga.
Elang tampak kaget.
“Siapa yang mata2in lo? Gue kebetulan aja liat. Dan
sekarang lo tau kan, Cakra nggak bisa melindungi lo!”
“Kenapa lo jadi sentimen gitu sama Cakra?” tanyaku dengan
suara tinggi.
“Ra, buka mata lo lebar2. Cakra seharus’y nggak ngajak lo
ke tempat yang berbahaya kayak gitu. Nggak jelas mana temen mana musuh.
Pergaulan’y bebas. Kalo nggak ada gue, mungkin lo udah diperkosa sama
Jonathan.”
Aku tertegun.
“Tapi lo nggak seharus’y nyalahin Cakra, gue yang mau
diajakin nonton sama dia. Lo sendiri, kenapa bisa nongol di tempat konser?
Kenapa?” tanyaku lagi. “Kebetulan lagi?”
“Kalo iya kenapa? Pokok’y sekarang lo gue anter pulang.
Gue nggak mau lo kenapa-napa.”
Elang lalu memegang tanganku.
“Gue nggak mau! Gue mau liat Cakra. Kenapa sih lo nggak
ngasih gue ketemu sama Cakra?”
Elang menatapku serius.
“Karena gue peduli sama lo!” kata Elang setengah
berteriak.
“Buat apa?!” balasku setengah berteriak. “Apa hak lo?
Buat apa lo peduli sama gue?”
“Karena gue…” Elang tergagap.
“Karena lo apa?” tanyaku.
“Pokok’y lo harus pulang!” Elang lalu memaksaku untuk
beranjak. “Sori, Ra. Gue harus sedikit kasar sama lo. Gue nggak mau lo
kenapa-napa. Adzy bisa bunuh gue!”
Tanpa perlawanan aku mengikuti Elang menuju tempat
mobil’y terparkir. Dengan kecepatan tinggi dia mengantarku pulang.
Elang hanya mengantarku sampai teras rumah. Setelah itu
dia pamit pulang.
“Gue pulang dulu, ya. Salam buat Adzy.” Kata’y.
Kemudian dia berjalan menuju mobil’y. Sebelum dia masuk
ke mobil’y, aku memanggil’y.
“Elang.” Kataku memanggil.
Elang menoleh ke belakang, melihatku.
“Makasih ya.” Kataku.
Elang tersenyum.
Aku masuk ke dalam rumah. Aku melihat Adzy berdiri di
dekat jendela. Di sebelah Adzy ada Lala juga.
“Ra, jadi lo pergi sama Elang?” Tanya Adzy setengah
kaget.
“Jadi lo ngintipin gue?” tanyaku sinis.
“Bukan’y ngintip. Gue cuma penasaran. Tadi lo pergi
sendiri, eh pas balik sama Elang.” Ujar Adzy. “Ke mana aja lo?”
“Nggak penting.” Sahutku.
Aku beranjak ke kamarku.
Di kamar aku hanya berbaring di tempat tidurku. Aku masih
terngiang-ngiang kata2 yang dilontarkan Elang tadi. Aku merasa kali ini Elang
benar. Tapi, kenapa harus Elang yang selalu ada di saat aku merasa tertekan,
butuh pertolongan, dan perlindungan?
Elang cowok baik. Meski aku belum juga bisa mengerti,
kenapa dia seolah-olah selalu mengikuti dan mungkin saja mengawasi aku.
“Ra, lo di dalem?”
Itu suara Lala. Dia ada di balik pintu kamarku.
Ada angin apa Lala tiba2 nyariin aku?
“Ra, gue cuma mau ngomong sebentar sama lo. Sumpah, kali
ini gue nggak akan bikin ribut sama lo.” Kata’y lagi.
“Mau ngomong apa?” tanyaku agak penasaran.
“Bukain dulu pintu’y.” sahut Lala.
Lala tersenyum ketika aku membukakan pintu kamar. Lala
mengikutiku masuk kamar dan menutup pintu.
“Lo mau ngomong apa?” tanyaku malas2an.
Lala duduk di tepi tempat tidur.
“Gue mau minta maaf sama lo.” Jawab Lala.
Spontan aku kaget.
“Lo nggak usah kaget gitu, Ra.” Kata Lala. “Gue bener2
minta maaf sama lo. Gue baru sadar, gue udah bikin lo merasa diatur dan
diremehkan. Itu gue lakuin karena gue peduli sama lo. Tapi gue akui, tindakan
gue terlalu over. Sampai2 lo tersinggung. Maafin gue, ya?”
“Iya, gue maafin lo. Tapi lo nggak bakal ngerecokin gue
lagi kan, soal Cakra?”
“Gue nggak akan ngerecokin lo, tapi gue mau ngasih saran.
Elang jauh lebih baik daripada Cakra.” Ujar Lala.
Mataku kembali melotot.
“Jangen kaget lagi, Ra. Gue Cuma pengin buka mata lo
lebar2. Lihat perbedaan antara Cakra sama Elang. Gue punya feeling, setelah lo
jalan sama Elang tadi, kayak’y ada sesuatu yang berubah pada diri lo sekarang.
Dan gue harap yang berubah dari lo itu adalah pandangan lo yang selama
ini masih keliru. Tapi jangan salah paham dulu, gue nggak mau ngelarang atau
ngatur2 lo lagi soal Cakra. Gue Cuma pengin lo menilai.” Kata Lala tenang.
“Menilai?” tanyaku bingung.
“Iya, menilai. Lo kan udah pinter. Bisa menilai mana yang
buruk buat lo, dan mana yang baik buat lo.”
Aku terdiam. Aku belum bisa melihat mana yang lebih baik
untukku.
“Oke, kasih gue waktu untuk menilai.” Kataku. “Tapi kalo
misal’y pilihan gue tetep jatuh sama Cakra, lo nggak akan protes, kan?”
Lala tersenyum.
“Lo bebas menjatuhkan pilihan ke siapa pun selama itu
yang terbaik buat lo.” Kata’y.
Wait… kenapa aku jadi seolah-olah milih antara Cakra sama
Elang?
“Tunggu, La. Kenapa gue jadi milih antara Cakra sama
Elang? Kenapa lo pake bilang kalo Elang lebih baik daripada Cakra? Lo pengin
gue suka sama Elang? Helooow… Gue belum minta sama Elang, Ra. Dan lo pikir
secara logis deh, nggak mungkin cowok sepopuler Elang suka sama gue.” Kataku
nyerocos.
Lala tertawa kecil. “So, lo pikir Cakra juga suka sama
lo?”
Deg. Jantungku berdegup kencang.
“Kenapa, Ra? Bingung? Udah gue bilang, Elang lebih baik.
Dari tingkah laku’y selama ini, masa lo nggak menangkap tanda2 dia naksir lo
sih? Atau elo’y yang kelewat bego sampe2 nggak nyadar ada pangeran secakep
Elang perhatian banget sama lo?”
Lala kemudian menatapku serius.
“Elang udah ngelakuin banyak hal buat lo.” Lanjut’y.
Elang? Naksir? Perhatian? Sama aku? Aku pikir dia
melakukan itu karena aku adik teman baik’y.
“Oke. Mungkin lo lagi bingung. Gue tinggal dulu, ya, udah
malem.” Kata Lala seraya bangkit berdiri.
Hari ini banyak sesuatu yang mengejutkan yang cukup
membuatku bingung.
***
0 komentar:
Posting Komentar