Surat Cinta di Dinding (Oleh: Eka Restu Anggraeni)
Rabu, 20 Maret 2013
0
komentar
Aku membenturkan sapu dengan keras ke dinding. Aku masih merasa kesal. Diana si
idiot kecil itu berulah lagi, dan kali ini vas bunga favorit mama yang jadi
korban. Satu jam yang lalu, aku baru saja tiba di rumah ketika Diana si idiot
itu tiba-tiba saja berlari ke arahku dan menabrakku. Aku kehilangan
keseimbangan dan akhirnya jatuh menindih vas bunga mama. Mama datang dengan
langkah tergopoh-gopoh menghampiri kami. Aku terbaring di lantai dengan pecahan
vas berserakan di sekitarku.
“Bukan salahku! Si idiot kecil itu menabrakku!” aku berbicara cepat-cepat
sebelum mama menyalahkanku. Aku memandang tajam ke arah Diana yang sedang duduk
di lantai, dia memandangiku tanpa ekspresi. Mama memijit keningnya.
“Pram, berhenti menyebut adikmu dengan kata idiot. Cepat bereskan semuanya,
sekarang waktunya Diana terapi.” Mama berkata datar, kemudian pergi sambil
menggandeng Diana. Aku mendengus kesal. Tumben bocah itu tidak berteriak atau
meronta saat mama menggandeng tangannya. Padahal biasanya dia akan meronta dan
berteriak-teriak seperti orang kesurupan saat mama mendekatinya. Ternyata
terapi yang dilakukan mama belakangan ini lumayan berguna. Tapi Diana tetap
saja Diana. Gadis kecil yang telah merampas keharmonisan keluargaku, gadis
kecil idiot yang sering membuat masalah, gadis kecil yang membuat aku menjadi
bahan ejekan teman-teman sekolah.
***
Dulu, aku memiliki sebuah keluarga yang sangat sempurna. Aku adalah anak tunggal
di keluarga ini. Papaku seorang dokter yang hebat. Sedangkan mamaku adalah
seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Aku bahagia hidup di tengah-tengah
keluarga yang sempurna. Kami tinggal di rumah yang sederhana, indah dan terawat
dengan baik. Aku sangat betah berlama-lama di rumah dan memandangi mama yang
tengah sibuk di kebun atau di dapur. Seringkali saat aku memandanginya, mama
memanggilku dan memetikkan bunga untukku. Mamaku adalah seorang wanita yang
istimewa. Senyumnya yang hangat dan masakannya yang lezat senantiasa
menyambutku sepulang sekolah. Membayar semua rasa lelah.
Tapi kini, semenjak kehadiran Diana kecil, segalanya berubah. Aku mulai merasa
jauh dari mama dan papa. Semuanya menyibukkan diri dengan Diana. Diana lahir
dalam keadaan tidak normal. Diana cacat mental, aku lebih suka menyebutnya
dengan si idiot pembawa sial. Mama memarahiku habis-habisan saat mendengar aku
mengucapkan kata-kata itu. Padahal sebelumnya mama belum pernah semarah itu
padaku.
***
Sayup-sayup aku mendengar suara lagu allegretto dari album the
mozart effect mengalun dari arah kamar Diana. Diana sedang terapi. Mama
bilang, perkembangannya cepat sekali. Mama optimis Diana pasti bisa sembuh. Aku
mencibir. Cacat mental memangnya bisa disembuhkan? Cacat mental kan kelainan,
bukan penyakit.
Aku melihat Diana sedang mencoret-coret dinding kamarnya, mama berdiri di
sampingnya. Dia tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Diana mengoceh tak jelas.
Aku merasa semakin jengkel. Dulu aku pernah mencoret-coret dinding kamarku dan
dimarahi oleh mama. Tapi mengapa sekarang saat Diana mencoret-coret dinding
kamarnya, mama malah diam saja? Bahkan mama memandanginya dengan tatapan haru
seperti itu. Benar-benar tidak adil. Mama seharusnya lebih menyayangiku daripada
Diana. Aku anak yang pintar dan berprestasi. Aku tidak merepotkan seperti
Diana.
***
Hari ini aku menerima penghargaan sebagai siswa teladan di sekolah. Tapi aku
kesal, mama tidak datang untuk menontonku berpidato di atas panggung. Sesampainya
dirumah, aku segera meluncur ke kamar mama, bahkan tanpa melepaskan sepatuku
terlebih dahulu. Satu minggu yang lalu, mama sudah berjanji akan menghadiri
undangan apresiasi siswa berprestasi. Tapi mama mengingkarinya. Padahal aku
berusaha sangat keras untuk merebut predikat ini dan mempersembahkannya untuk
mama. Aku ingin mama bangga saat melihatku berpidato dan memuji-mujinya dari
atas panggung. Aku ingin mama dan papa memelukku erat sambil mengucapkan
selamat seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Aku benar-benar kecewa. Pasti
gara-gara Diana.
“Mama kemana? “ tanyaku pada Diana yang sedang menggenggam krayon merah di
tangan kanannya.
“Mozart…” jawabnya lirih. Aku jadi ingat. Semalam mama mengeluh kaset
terapi the mozart effectnya rusak karena terlalu sering diputar. Mama
saat ini pasti sedang pergi untuk membeli yang baru.
“Dasar idiot, gara-gara kamu mama jadi lupa datang ke acara sekolahku!”
bentakku. Diana memandangku tanpa ekspresi.
“Kakak… “ ucapnya tiba-tiba. Tangan kecilnya meraih tanganku. Menariknya
perlahan. Aku menghempaskan tangannya. Dia terhuyung ke belakang.
“Apaan sih kamu? Tanganmu kotor!” aku membentak lagi sambil mengibaskan
tanganku.
“Lihat gambarku.” Jawabnya singkat.
“Aku bisa nulis. Aku bisa gambar.” Diana sumringah. Dia merogoh sakunya sambil
mengangsurkan secarik kertas yang sudah lusuh dan penuh coretan krayon.
Sepertinya aku mengenali kertas itu. Aku merampas benda itu dari tangan Diana.
“Bagus kan, Kak?” tanyanya. Aku terbelalak.
“Apa?! Dasar bocah idiot! Kamu tahu ini apa? Ini sertifikatku! Aku
berminggu-minggu belajar ekstra untuk mendapatkan ini! Kenapa malah kamu
coret-coret?!” emosiku memuncak.
“Kakak tidak suka?” Diana bertanya lagi.
“Aku lebih suka kamu mati.” Jawabku ketus sambil melempar sertifikatku yang
sudah lecek itu keluar jendela. Aku segera berjalan sambil menghentak-hentakkan
kakiku menuju kamar. Kali ini bocah idiot itu sudah sangat keterlaluan.
***
“Kakak bilang, kakak lebih suka aku mati.” Diana berdiri di hadapanku.
Pandangan matanya kosong. Diana berbicara lancar. Tidak tergagap seperti
biasanya.
“Aku mau mati asal bisa bikin kakak suka sama aku.” tambahnya. Aku tercekat.
Diana saat itu sedang mengenakan gaun pink favoritnya. Wajahnya pucat.
Dengan tangan yang gemetar, dia mengangsurkan secarik kertas lusuh padaku. Aku
menerimanya. Perlahan-lahan, aku membuka lipatannya. Ada coretan krayon merah
yang membentuk dua orang sedang bergandengan tangan. Gambarnya memang jelek,
tapi aku terharu saat membaca judulnya “Aku dan Kak Pram”.
“Aku lompat dari jendela untuk mengambil kertas ini. Tadi kakak belum lihat
gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya… Aku sudah mati kak, seperti kemauan
kakak. Jadi sekarang kakak suka kan sama aku?” ucapnya polos. Dadaku sesak.
***
Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuhku. Napasku
tersengal-sengal seperti habis berlari marathon. Aku merasakan ada sesuatu yang
kugenggam di tangan kiriku. Aku terhenyak. Dadaku berdetak cepat. Dengan tangan
gemetar, aku membuka lipatan kertas lusuh itu. Bagaimana benda ini bisa
kugenggam? Aku yakin, aku sudah melemparnya keluar jendela tadi. Tubuhku lemas
ketika aku mendapati yang ada dalam kertas itu adalah gambar dengan judul yang
sama persis dengan mimpiku.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah kamar Diana. Kumohon Tuhan,
maafkan aku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Diana, aku tidak akan pernah
bisa memaafkan diriku. Aku yakin ini hanya mimpi, tapi kenapa kertas ini bisa
ada disini? Ya Tuhan, tolong lindungi Diana.
Aku merasa lega saat melihat Diana kecil dengan tangan dan bajunya yang penuh
dengan noda krayon sedang asyik mencoret-coret dinding kamarnya. Syukurlah,
ternyata hanya mimpi.
Aku melangkah masuk. Diana kecil masih sibuk menggoreskan
krayonnya ke dinding, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku terisak
perlahan saat kuamati coretan-coretan yang Diana buat di dinding kamarnya.
“Aku sayang Kak Pram”
“Aku main boneka sama Kak Pram”
“Aku naik sepeda sama Kak Pram”
Ya Tuhan, jahat sekali aku selama ini. Kenapa aku bisa membenci adikku sendiri?
aku memeluk erat Diana. Dia menghentikan kegiatan menggambarnya dan
memandangku. Tubuhnya dingin. Kertas lusuh yang kugenggam tadi terjatuh. Diana
meraihnya dan mengangsurkannya kembali padaku. Aku menerimanya sambil
tersenyum.
“Gambarmu bagus. Kamu pintar sekali.” Pujiku sambil mengusap lembut rambutnya.
“DIANAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...” Aku terkejut mendengar
teriakan mama. Aku segera beranjak menuju jendela untuk melihat apa yang
terjadi di bawah sana, tapi suara Diana menghentikan langkahku.
“Terima kasih, kak. Tidak sia-sia aku lompat dari jendela untuk mengambil
kertas ini. Tadi kakak belum lihat gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya…”
ucapnya polos. Dia tersenyum.
Wajahku memucat. Apa maksudnya? Aku mundur perlahan ke arah jendela. Banyak
kerumunan orang di bawah sana. Aku melihat mama sedang memeluk gadis kecil yang
terbaring dan bersimbah darah. Aku mengenali sosok itu. Itu Diana. Ragu-ragu,
aku menatap kembali ke arah tembok. Diana sudah tidak ada di sana.
Ya Tuhan, Diana…
0 komentar:
Posting Komentar