ketika elang mencintai dara part 7

Posted by H13 Rabu, 20 Maret 2013 0 komentar
Hujan rintik2.
Sore itu, seorang gadis cantik, berjalan sendirian di taman yang sepi. Tangan kanan’y memegang payung berwarna merah jambu. Senyum tipis terukir di wajah’y.
Dia Safira.
Senyum’y semakin lebar begitu melihat seorang cowok urakan duduk sendirian di tepi kolam teratai. Cowok itu tidak memakai payung.
“Cakra?” sapa Safira.
“Elo?” kata’y.
“Gue seneng ketemu lo.” Ujar Safira seraya duduk di samping Cakra.
Cakra tersenyum dingin.

“Lo membawa keberuntungan buat gue. Karena lo, gue bisa…”
“Bikin Dara salah paham?” potong Cakra.
Safira tersenyum manis. “Iya. Makasih ya?”
“Makasih? Lo emang ratu drama. Hebat!” Cakra kemudian tertawa kecil.
Safira masih tersenyum. “Lo suka sama Dara, kan?”
Cakra terdiam.
“Gimana kalo lo bikin Dara jatuh cinta sama lo, dan gue bikin Elang balik lagi ke gue?” Tanya Safira menawarkan rencana terbaru’y.
Cakra menatap Safira lekat.
“Kenapa, Cakra? Lo dilemma? Gue rasa berjuang untuk mendapatkan cinta dari seseorang itu sah2 aja.” Kata Safira.
Dia kemudian bangkit berdiri.
Safira hanya tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Cakra.
Hari ini sekolah tampak seperti biasa.
Di sepanjang koridor anak2 bergosip, berbisk-bisik, menunjuk-nunjuk, memandang sirik padaku…
“Hai, Ra!”
Tiba2 saja ada yang merangkul pundakku.
ELANG.
Dan dia tersenyum.
“Kenapa, Ra? Kenapa muka lo pucet gitu? Lo sakit?” Tanya Elang.
“Singkirin tangan lo.” Kataku dengan suara tertahan.
“Loh, kenapa? Elo nggak suka? Ya udah.” Elang menurunkan tangan’y. “Lo ada pelajaran apa hari ini?”
“Lang, lo bisa jauh2 nggak dari gue?” tanyaku dengan suara yang lebih tertahan.
Elang mengerutkan kening. “Apa? Jauh2? Lo masih marah sama gue?”
“Bukan… Gue nggak nyaman aja.” Sahutku. Aku mempercepat langkahku.
“Eit, tunggu dulu, Ra! Nggak nyaman gimana?” Elang berusaha menyamai langkahku. “Hmm… Gue ngerti. Oke, gue jauh2 deh. Biar lo nggak risi.”
Elang lalu berbelok menuju kelas’y.
“Hai, Lang!”
Buset dah… Aku mendengar suara nenek sihir menyapa Elang.
SAFIRA.
Tiba2 datang seoang cewek lagi.
“Hai, Lang! Apa kabar lo?”
SASHA.
Aargh… dua2’y bikin aku enek!
“Hai, Ra!”
Cakra tiba2 muncul di hadapanku. Hari ini dia terlihat rapi. Piercing di lepas semua. Lebih wangi. Aku perlu beberapa detik untuk mengenal dia.
***
“Apa?! Cakra nyapa lo pagi2, tanpa piercing, tanpa bau rokok, tanpa baju berantakan?” pekik Lala. “Ra, lo serius? Beneran yang lo liat tadi itu Cakra?”
“Beneren, La! Gue yakin itu Cakra.” Kataku. “Gue nggak ngerti. Kenapa begitu Elang ngejauhin gue, Safira sama Sasha datang buat ngedeketin Elang. Terus tiba2 di depan gue nongol si Cakra dengan penampilan yang… yah, gue akui lebih baik. Tapi gue merasa aneh.”
Lala kelihatan berpikir. “Lo bener. Ini aneh.” Ujar’y.
“Menurut lo gimana? Apa ini cuma kebetulan?” tanyaku.
“Nggak. Ini bukan kebetulan. Pasti mereka kerja sama.”
“Mereka?”
“Bisa aja Cakra sama Safira atau Cakra sama Sasha punya maksud tertentu. Tapi menurut gue yang kerja sama itu Cakra sama Safira. Pasti. Nggak salah lagi. Cakra pengin ngedeketin lo, terus Safira pengin deketin Elang lagi. Pas, kan?”
Aku sebenar’y malas jika harus menganalisis seperti ini. Come on… I just want to love someone who can catch my heart…
Kami mendengar suara ribut2 dari luar kelas. Samar2 aku mendengar teriakan. “Hayo! Hayo!” ramai sekali. Kami ikut keluar dan menyaksikan duel seru. Safira dan Sasha…
Mereka berantem! Mereka saling cakar. Sadis.
Mereka sudah kelihatan berantakan banget. Aku melihat Elang berusaha melerai mereka. Sampai akhir’y Pak Deddy, guru BK itu datang untuk menghentikan pertikaian.
“Hentikan! Apa2an ini?” kata’y setengah berteriak.
Tapi Safira dan Sasha nggak peduli!
“Safira! Sasha! Kalian mau dikeluarkan dari sekolah?” teriak Pak Deddy geram.
Safira dan Sasha spontan berhenti.
“Kalian ikut saya.” Kata Pak Deddy dengan suara datar.
“Ikut saya!” kata Pak Deddy dengan suara lebih keras.
Safira dan Sasha mengikuti Pak Deddy menuju ruang BK. Mereka pasti bakalan kena skorsing paling nggak satu minggu.
Perlahan kerumunan siswa mulai bubar. Elang mendekatiku dengan tampang stres dan Lala lantas pergi meninggalkanku.
“Ra, lo liat? Sumpah, Ra. Mereka gila!” kata Elang sambil memegang jidat’y.
“Kenapa mereka berantem gitu?” tanyaku.
“Gue bukan’y ge-er. Lo liat kan tadi pagi mereka sama2 ngedeketin gue? Safira nggak suka Sasha deket gue. Sasha juga nggak suka Safira deket gue. Mereka perang mulut dan setelah itu… yah… seperti yang lo liat tadi.”
Hah? Gara2 itu?
“Oh ya, Ra. Tadi Pak Bambang pesen. Kita hari ini nggak ikut pelajaran di kelas. Pembinaan matematika dimulai jam delapan pagi di perpustakaan. Minggu depan kita udah lomba.” Kata Elang.
“Apa? Minggu depan?” pekikku kaget.
“Iya, minggu depan kita lomba, tingkat provinsi.”
“Kita?”
“Iya, kita. Kenapa, Ra? Lo kok kaget gitu? Bukan’y kita emang dipersiapkan untuk ikut lomba?”
“Ng… Yang ikut lomba berapa orang?” tanyaku dengan suara pelan.
“Ya kita berdua. Elo sama gue.” Sahut Elang enteng.
“Apa?” aku memekik kaget.
“Lo kenapa sih, Ra? Nggak usah kaget gitu. Ayo buruan, siapin buku2. Kita ke perpus bareng, oke?”
Hari ini hanya ada aku dan Elang di perpustakaan, mengerjakan seabrek soal latihan.
“Kenapa, Ra?” kayak’y Elang udah sepuluh kali ngasih pertanyaan yang yang sama ke aku. Tapi aku hanya menggeleng. “Lo sakit?’ tanya’y lagi. “Lo capek, ya? Baru juga dua jam, Ra.”
“Ra, lo takut ikut lomba?” Tanya Elang lagi.
Spontan aku memandang Elang penuh harap.
“Pak Johan pasti nggak sembarangan milih lo. Kalo sampe Pak Johan milih lo, itu arti’y lo bener2 punya kemampuan. Percaya diri dong!” Elang berusaha memberiku semangat. “Kayak’y Pak Johan berhalangan hadir nih, udah dua jam tapi belom nongol juga. Gimana kalo kita istirahat dulu?” Elang menawarkan.
“Boleh.” Sahutku.
“Lo mau makan?” Tanya Elang.
“Iya, gue mau makan banyak.” Sahutku.
Elang tertawa kecil. “Pantes aja badan lo bongsor, makan lo banyak.” Kata’y.
“Apa lo bilang? Badan gue bongsor?” Aargh… nih anak nyebelin banget.
Dengan cuek Elang lalu melangkah ke luar perpustakaan.
Aku berusaha menyamai langkah’y. Setahuku, badanku itu jangkung, bukan bongsor.
“Elang! Maksud lo apa bilang badan gue bongsor?” aku memekik.
Elang masih berjalan cuek tanpa menggubris kata2ku. Dia emang bener2 bisa bikin orang kesel setengah mati!
Aku tetap mengikuti Elang. Kami terus berjalan beriringan hingga aku melihat Safira setengah berlari dari kejauhan seraya menutup wajah dengan kedua tangan’y.
Aku melirik Elang, seperti’y dia tidak memperhatikan Safira. Safira berlari semakin cepat dan kelihatan’y dia berlari ke arahku. What’s wrong with her?
Elang masih asyik bersiul dan belum menyadari Safira yang berlari dari kejauhan. Kini Sfaira semakin dekat. Sampai akhir’y Safira tinggal beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri dan…
“Elang!” Safira memekik dan spontan memeluk Elang.
Elang kelihatan sangat kaget.
“Elang, gue diskors satu minggu. Gue bingung… Gara2 Sasha!” kata Safira sambil terisak dan mendekap Elang dengan erat. Tapi hatiku benar2 mencelos ,melihat Safira memeluk Elang seperti itu.
“Safira, plis… nggak harus meluk2 gue, kali!” kata Elang.
Tapi Safira nggak mau melepaskan dekapan’y.
“Ng… gue mau ke toilet dulu.” Kataku cepat.
“Dara!” aku mendengar Elang memanggilku. Aku kesal. Kenapa dia nggak berusaha melepaskan pelukan Safira? Paling2 dia senang dipeluk sama Safira!
“Dara, tunggu!” teriak Elang sekali lagi. Seperti’y dia mengikutiku. Aku mempercepat lariku.
Tiba2… Buk!
Aku menabrak seseorang. Aku terduduk di lantai.
“Dara? Kok buru2?”
Aku  menabrak Cakra. Segera aku berdiri dan spontan memeluk cowok itu.
“Lo kenapa sih?” Tanya Cakra.
Aku hanya diam.
“Kok diem? Lo kenapa?” Tanya Cakra lagi.
Aku masih diam sampai akhir’y Elang muncul.
“Dara!” kata’y.
“Oh, jadi gara2 lo lagi?” Tanya Cakra galak.
“Nggak! Bukan karena Elang! Gue Cuma kangen sama lo!” kataku.
Oh God… aku nggak percaya mengeluarkan kata2 seperti tu.
Ya Tuhan… Bunuh aku sekarang!
***
“What? Lo omong apa ke Cakra?” Lala memekik kaget.
“La, gue nggak tau harus gimana tadi.” Kataku.  “Gue… gue refleks aja meluk Cakra, soal’y tiba2 ada di depan gue dan…” aku terbata-bata menjelaskan’y pada Lala. “Udah gue bilang kan tadi gue ngomong apa?”
“Dara! Lo bego!” kata Lala gemas.
Dia bilang aku bego? Agak kesal juga mendengar’y.
“Kenapa lo mesti meluk2 Cakra segala? Bilang kangen, lagi! Parah lo! Lo kan bisa menghindar…”
“Gue nggak bisa.” Potongku.
“Lo bisa. Karena lo bego, lo nggak bisa!” Lala kelihatan’y masih sangat gemas.
“Terus gue harus gimana, La?” tanyaku putus asa. Aku masih ingat tampang Cakra tadi bener2 kayak orang shock berat. Aku nggak sempat melihat ekspresi Elang, karena setelah itu aku langsung kabur ke toilet cewek.
“Gue yakin Elang nggak seburuk yang lo pikir.” Ujar Lala pelan. “Dia nggak mungkin suka sama Safira lagi.”
“Kenapa lo sebegitu yakin?”
“Karena Elang cowok yang pintar. Cowok pintar nggak mungkin suka sama Safira, cewek yang bego.”
“Gue juga bego, lo yang bilang.”
“Dara, lo juga bego karena lo terlalu gegabah. Tindakan lo bisa bikin Elang jadi nggak suka sama lo.”
“Emang itu yang gue cari.”
“Berarti lo bener2 bego. Kenapa sih lo? Ayolah… Elang itu cowok baik kok…”
“Nggak, La. Gue nggak mau terlalu berharap.”
Hari-hariku terasa seperti kertas buram. Aku memutuskan untuk mundur dari olimpiade Matematika.
“Kenapa kamu harus mundur, Dara? Kamu yakin dengan keputusan kamu?” Tanya Pak Johan.
“Yakin, Pak. Saya merasa belum punya kemampuan yang cukup untuk jadi peserta.” Jawabku.
“Sayang sekali. Padahal kamu sebenar’y punya kemampuan luar biasa. Sebaik’y kamu pertimbangkan lagi keputusan kamu.” Kata Pak Johan penuh harap.
“Saya nggak akan mempertimbangkan’y lagi, Pak. Saya nggak seperti kakak saya saya yang pintar. Kemampuan saya sebenar’y biasa2 aja. Saya belum bisa beradaptasi dengan gaya belajar yang bagi saya cukup berat. Saya nggak sanggup, Pak.”
“Saya merasa agak kaget, karena sebelum’y saya belum pernah jawab soal2 yang rumit setiap hari. Bapak bisa mengerti kan. Mungkin kalau anak jenius, mereka nggak perlu bekerja keras seperti saya. Tapi saya nggak lebih dari anak dengan otak pas2an yang perlu bekerja sepuluh kali lipat dibandingkan anak jenius.”
Alasan yang benar2 meyakinkan.
“Baiklah. Kalau memang itu keputusan kamu, Bapak harus bagaimana lagi? Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, Bapak akan menerima dengan tangan terbuka.” Kata Pak Johan.
“Terima kasih, Pak. Saya permisi.” Kataku.
Aku keluar dari ruang guru dengan perasaan lega.
“Dara! Dara!”
Aku mendengar suara Elang memanggilku.
Aku berusaha mempercepat langkahku.
“Dara!” panggil Elang lagi. Kali ini dia berhasil menepuk pundakku.
“Sori, Lang. Gue buru2.” Kataku.
“Buru2? Gue mau jelasin ke elo masalah kemarin.” Kata Elang.
“Masalah? Masalah yang mana?” tanyaku pura2 bego. “Emang’y ada masalah?”
“Dara, kemarin gue…”
“Udahlah, Lang. Gue merasa nggak ada masalah apa2 kok. Sori banget nih, gue kebelet.”
“Tapi, Ra… Yang kemarin itu lo beneran…”
“Beneran apa?” potongku lagi. “Udah ya, gue bener2 kebelet. Plis…”
Aku langsung berlari ke toilet cewek.
***
Ketika aku keluar dari toilet, aku nggak melihat Elang.
Tapi aku melihat Cakra, dengan senyum’y yang lebar berdiri di hadapanku.
“Hai, Ra!” sapa’y.
“Hai.” Kataku datar.
“Kok sendirian aja, mau ikut sama gue nggak?” tanya’y.
“Ke mana?”
“Ke kantin. Jam istirahat masih lama kok. Mau ikut nggak?” tawar’y lagi.
“Oke.” Sahutku.
Aku mengikuti Cakra ke kantin. Kami lalu duduk di salah satu sudut kantin.
“Mau makan apa, Ra?” Tanya Cakra.
“Apa aja, yang penting kenyang.” Kataku.
Aku melihat Elang duduk di salah satu tempat dan sedang memandang ke arahku!
Aku cepat2 memalingkan wajah.
“Gue bakso aja, yang pedes.” Kataku.
“Bakso? Padahal baru aja mau gue pesenin siomay.” Kata Cakra. “Kata’y apa aja.”
“Bakso aja.” Kataku lagi. “Tapi yang pedes.”
“Terlalu pedes nggak bagus juga lho.”
“Gue kan bilang pedes, bukan terlalu pedes.”
Cakra tertawa ringan. “Lo ada2 aja. Ya udah deh. Lo tunggu ya, gue mau pesen dulu.”
Cakra lalu beranjak.
“Ups, hampir lupa. Minum’y apa, Ra?” Tanya Cakra.
“Es jeruk manis.” Sahutku.
“Oke.”
Cakra kemudian beranjak pergi.
Aku iseng melirik kea rah Elang. Elang keliatan asyik ngobrol sama Safira!
“Kenapa, Ra? Kok muka lo ditekuk-tekuk gitu?” Tanya Cakra. Cakra kembali dengan membawa dua gelas minuman. “Bakso’y nyusul, sabar ya.”
Aku hanya diam selama beberapa detik sebelum menyeruput minumann itu sampai tinggal setengah.
“Lo haus apa doyan?” Tanya Cakra.
“Haus! Gue gerah!” sahutku sebal.
Cakra tersenyum kecil.
“Kenapa sih lo?” tanya’y. “Nggak suka makan sama gue?”
“Eh, nggak kok.” Cepat2 aku menyahut. “Gue sih suka2 aja diajak makan. By the way, lo masih suka jadi anak nakal, suka berantem gitu? Secara sekarang penampilan lo kan jauh lebih rapi, nggak berantakan kayak dulu.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Cakra tertawa.
“Gue udah lama nggak nonjok orang nih. Temen2 gue aja pada heran sama perubahan gue.”
“Mereka nggak protes atau gimana gitu ke elo?”
“Gue jadi jarang maen lagi sih, tapi mereka masih biasa2 aja kok. Nggak ada masalah. Mereka nggak mungkin beranilah sama gue.” Cakra lalu tertawa kecil. “Paling gue diledekin aja kenapa jadi rapi gini. Mereka ngira’y gue lagi jatuh cinta, sampai rela ngubah penampilan kayak gini.”
“Really? Terus kenapa lo berubah?” desakku. “Apa bener lo lagi jatuh cinta?”
Cakra tertawa lagi.
“Pantes aja Elang lama banget pedekate’y ke elo.” Kata’y. “Lo nggak peka banget.”
Hah? Lala juga bilang aku nggak peka.
“Ya udahlah, nggak usah dibahas. Lo sendiri, kenapa mau2’y makan bareng sama gue? Lo pasti ada mau’y nih.” Ujar Cakra.
“Ada mau’y? Ah, nggak kok. Nggak ada salah’y kan, gue makan bareng sama lo? Daripada kita berantem.” Kataku berkelit.
“Hmm… kalo gitu, boleh dong besok2 gue ajak lo makan lagi?”
“Ng… boleh…”
“Kalo gue ajak jalan?”
“Hmm… gue pikir2 dulu.” Kataku.
Dan Cakra hanya tertawa lepas mendengar’y.
Oh my God…
Aku sedang mencatat rumus yang ditulis Pak Bambang di papan, ketika aku melihat Elang ,melintas di depan kelasku. Dia sedang bersama SAFIRA.
Aku mengambil pensilku dan mencoratcoret catatanku dengan kata2 “DASAR COWOK GANJEN!”
Saat aku menulis kata2 itu, Farah yang duduk di sebelahku curiga. Dia melirik ke catatanku, tapi cepat2 aku tutup bukuku. Darah kelihatan tidak senang.
Kata terakhir yang aku tulis adalah “I HATE YOU ELANG!”
Aku benar2 terbakar cemburu.
Aku menggigit bibirku.
“Lo kenapa sih?” bisik Farah.
Aku tak menyahut.
Tak lama kemudian bel pulang sekolah berbunyi. Farah cepat2 memasukkan semua buku’y ke tas.
“Gue duluan ya, Ra. Gue penasaran, cowok yang tadi gue lihat jalan sama Safira itu beneran Elang apa bukan.” Kata’y seraya beranjak pergi.
Ternyata Farah melihat’y juga.
Dengan tatapan kosong aku memasukkan semua buku ke tas dan beranjak keluar kelas mengikuti Lala.
“Jangan bengong. Ntar kesambet lho.” Kata Lala lagi.
Aku hanya diam.
Kami menyusuri koridor sekolah dalam diam. Aku berjalan dengan sangat pelan, dan Lala juga mengatur kecepatan kaki’y sama sepertiku.
Langkah kaki kami nyaris tak terdengar sampai akhir’y aku mendengar suara langkah kaki lagi di belakang kami.
“Dara!” aku mendengar satu suara memanggilku.
Aku dan Lala menoleh ke belakang. Elang. Dia tepat berdiri di belakangku dengan mimik kesal.
“Dara! Gue mau ngomong sama lo!” kata’y dengan suara keras.
“Eh, lo yang sopan dikit kenapa sih?” Lala ikut mengeraskan suara’y.
“Biarin aja, La!” kataku. Lalu aku menatap Elang. “Lo mau ngomong apa?” tanyaku.
“Jelasin ke gue, kenapa lo mundur dari olimpiade matematika?” Elang menatap mataku lekat2.
Aku dapat merasakan Lala ikutan shock mendengar pertanyaan Elang.
“Jawab, Ra. Kenapa lo mundur?” desak Elang.
Aku masih terdiam.
“Ra, lo beneran mundur?” Tanya Lala. “Ra, bilang ke gue kalo itu nggak bener. Apa alasan lo?”
“Suka2 gue kalo gue mundur!” teriakku emosi.
Aku lalu berbalik dan berusaha menghindar.
“Ra! Tunggu!” kata Elang. Dia menarik tanganku. “Jawab dulu pertanyaan gue!”
“Lepasin gue!” bentakku. Aku menyentakkan tanganku, kemudian berjalan cepat menjauh dari Elang. Lala mengikutiku dengan ekspresi keheranan.
“Dara! Apa karena lo menghindar dari gue?!” teriak Elang.
Tapi aku nggak menggubris’y.
“Atau karena Cakra?” pekik Elang.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang.
“BUKAN!” kataku tegas dengan wajah memerah.
Aku lalu berjalan lebih cepat.
“Dara! Jelasin ke gue apa yang terjadi?” desak Lala seraya berusaha menyamai langkahku.
“Gue lagi males ngebahas.” Sahutku.
“Kenapa lo mundur? Kenapa nama Cakra sampai di bawa2?” Tanya Lala lagi.
“Gue nggak bisa deket2 sama Elang. Dia nggak ngerti perasaan gue.” Kataku.
“Nggak ngerti perasaan lo gimana?” Tanya Lala dengan dahi mengernyit. “Oh… karena Safira selalu ngedeketin Elang dan lo nggak tahan ngeliat mereka berdua dekatan, gitu? Jadi lo cemburu? Ra, sekarang lo tanya diri lo sendiri. Lo pernah bilang suka nggak ke Elang? Lo sendiri ngerti nggak perasaan Elang, yang dari dulu udah ngasih sinyal suka ke elo, tapi elo’y nggak respons?”
Aku memandang Lala dengan tatapan kosong.
“Gue tetep nggak bisa. Elang bukan buat gue, tapi buat Safira! Safira yang pantes, La! Safira! Bukan gue!” pekikku.
“Safira!” dengus Lala. “Siapa sih dia? Oke, kalo lo lebih memilih menyerah. Tapi awas kalo lo suatu saat nanti nyesel sama keputusan lo sendiri. Gue udah nggak bisa ngomong apa2 lagi.”
Aku pikir aku nggak akan menyesal dengan keputusanku. Aku nggak bisa memaksakan diri untuk tetap dekat dengan Elang sementara masih ada orang lain yang juga sangat mengharapkan’y. Dan seperti’y Elang lebih memilih orang itu…
***

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman